Manusia Sebagai Makhluk Budaya
Pendahuluan
Kehidupan manusia sangatlah komplek,
begitu pula hubungan yang terjadi pada manusia sangatlah luas. Hubungan
tersebut dapat terjadi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam,
manusia dengan makhluk hidup yang ada di alam, dan manusia dengan Sang
Pencipta. Setiap hubungan tersebut harus berjalan seimbang. Selain itu manusia
juga diciptakan dengan sesempurna penciptaan, dengan sebaik-baik bentuk yang
dimiliki. Hal ini diisyaratkan dalam surat At-Tiin: 4
“Sesungguhnya
kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang
sebaik-baiknya”.
Dalam ayat ini Allah menegaskan
bahwa Dia telah menjadikan manusia makhluk ciptaan-Nya yang paling baik;
badannya lurus ke atas, cantik parasnya, mengambil dengan tangan apa yang
dikehendakinya; bukan seperti kebanyakan binatang yang mengambil benda yang
dikehendakinya dengan perantaraan mulut. Kepada manusia diberikan-Nya akal dan
dipersiapkan untuk menerima bermacam-macam ilmu pengetahuan dan kepandaian;
sehingga dapat berkreasi (berdaya cipta) dan sanggup menguasai alam dan
binatang.
Manusia juga harus bersosialisasi
dengan lingkungan, yang merupakan pendidikan awal dalam suatu interaksi sosial.
Hal ini menjadikan manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan yang berlandaskan
ketuhanan. Karena dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang hak
dengan yang bukan hak, antara kewajiban dan yang bukan kewajiban. Sehingga
norma-norma dalam lingkungan berjalan dengan harmonis dan seimbang. Agar
norma-norma tersebut berjalan haruslah manusia di didik dengan berkesinambungan
dari “dalam ayunan hingga ia wafat”, agar hasil dari pendidikan –yakni
kebudayaan– dapat diimplementasikan dimasyaakat.
Pendidikan sebagai hasil kebudayaan
haruslah dipandang sebagai “motivator” terwujudnya kebudayaan yang tinggi.
Selain itu pendidikan haruslah memberikan kontribusi terhadap kebudayaan, agar
kebudayaan yang dihasilkan memberi nilai manfaat bagi manusia itu sendiri
khususnya maupun bagi bangsa pada umumnya.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa
kualitas manusia pada suatu negara akan menentukan kualitas kebudayaan dari
suatu negara tersebut, begitu pula pendidikan yang tinggi akan menghasilkan
kebudayaan yang tinggi. Karena kebudayaan adalah hasil dari pendidikan suatu
bangsa.
PEMBAHASAN
Hakekat
Manusia Dan Budaya
A. Pengertian Manusia
Secara bahasa manusia berasal dari
kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir,
berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain).
Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah
gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Dalam
hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living
organism). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan
bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu
lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal
(geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seoang bayi lahir, ia
merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh kaena itu ia menangis,
menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana
timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense)
untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk hidup.
Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu
bersumber dari lingkungan. Oleh karena itu lingkungan mempunyai pengaruh besar
terhadap manusia itu sendiri, hal ini dapat dilihat pada gambar siklus hubungan
manusia dengan lingkungan sebagai berikut:
Siklus
Hubungan Manusia
Gambar di atas menggambarkan bahwa
lingkungan dan manusia atau manusia dan lingkungan merupakan hal yang tak
terpisahkan sebagai ekosistem, yang dapat dibedakan mejadi:
- Lingkungan alam yang befungsi
sebagai sumber daya alam
- Lingkungan manusia yang berfungsi sebagai sumber daya manusia
- Lingkungan buatan yang berfungsi sebagai sumber daya buatan
B. Pengertian Budaya
Kata budaya merupakan bentuk majemuk
kata budi-daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa. Sebenarnya kata budaya
hanya dipakai sebagai singkatan kata kebudayaan, yang berasal dari Bahasa
Sangsekerta budhayah yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi
atau akal. Budaya atau kebudayaan dalam Bahasa Belanda di istilahkan dengan
kata culturur. Dalam bahasa Inggris culture. Sedangkan dalam
bahasa Latin dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan,
menyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian ini
berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia
untuk mengolah dan mengubah alam.
Definisi budaya dalam pandangan ahli
antropologi sangat berbeda dengan pandangan ahli berbagai ilmu sosial lain.
Ahli-ahli antropologi merumuskan definisi budaya sebagai berikut:
E.B. Taylor: 1871 berpendapat bahwa
budaya adalah: Suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan
kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
Berdasarkan definisi para ahli
tersebut dapat dinyatakan bahwa unsur belajar merupakan hal terpenting dalam
tindakan manusia yang berkebudayaan. Hanya sedikit tindakan manusia dalam
rangka kehidupan bermasyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan belajar.
Dari kerangka tersebut diatas tampak
jelas benang merah yang menghubungkan antara pendidikan dan kebudayaan. Dimana
budaya lahir melalui proses belajar yang merupakan kegiatan inti dalam dunia
pendidikan.
Selain itu terdapat tiga wujud
kebudayaan yaitu :
1. wujud pikiran, gagasan, ide-ide,
norma-norma, peraturan,dan sebagainya. Wujud pertama dari kebudayaan ini
bersifat abstrak, berada dalam pikiran masing-masing anggota masyarakat di
tempat kebudayaan itu hidup;
2. aktifitas kelakuan berpola
manusia dalam masyarakat. Sistem sosial terdiri atas aktifitas-aktifitas
manusia yang saling berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang
lain setiap saat dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat
kelakuan. Sistem sosial ini bersifat nyata atau konkret;
3. Wujud fisik, merupakan seluruh
total hasil fisik dari aktifitas perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat.
Budaya
sebagai Sistem gagasan
Budaya sebagai sistem gagasan yang
sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau di foto, karena berada di dalam alam pikiran
atau perkataan seseorang. Terkecuali bila gagasan itu dituliskan dalam karangan
buku. Budaya sebagai sistem gagasan menjadi pedoman bagi manusia dalam bersikap
dan berperilaku. Seperti apa yang dikatakan Kluckhohn dan Kelly bahwa “Budaya
berupa rancangan hidup” maka budaya terdahulu itu merupakan gagasan prima yang
kita warisi melalui proses belajar dan menjadi sikap prilaku manusia berikutnya
yang kita sebut sebagai nilai budaya. Jadi, nilai budaya adalah “gagasan” yang
menjadi sumber sikap dan tingkah laku manusia dalam kehidupan sosial budaya.
Nilai budaya dapat kita lihat, kita rasakan dalam sistem kemasyarakatan atau
sistem kekerabatan yang diwujudkan dalam bentuk adat istiadat. Hal ini akan
lebih nyata kita lihat dalam hubungan antara manusia sebagai individu lainnya
maupun dengan kelompok dan lingkungannya.
Perwujudan
kebudayaan
JJ. Hogman dalam bukunya “The World
of Man” membagi budaya dalam tiga wujud yaitu: ideas, activities, dan
artifacts. Sedangkan Koencaraningrat, dalam buku “Pengantar Antropologi”
menggolongkan wujud budaya menjadi:
a. Sebagai suatu kompleks dari
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
b. Sebagai suatu kompleks aktifitas
serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat
c. Sebagai benda-benda hasil karya
manusia
Berdasarkan penggolongan wujud
budaya di atas kita dapat mengelompokkan budaya menjadi dua, yaitu: Budaya yang
bersifat abstrak dan budaya yang bersifat konkret.
Budaya yang Bersifat Abstrak
Budaya yang bersifat abstrak ini
letaknya ada di dalam alam pikiran manusia, misalnya terwujud dalam ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan cita-cita. Jadi
budaya yang bersifat abstrak adalah wujud ideal dari kebudayaan. Ideal artinya
sesuatu yang menjadi cita-cita atau harapan bagi manusia sesuai dengan ukuran
yang telah menjadi kesepakatan.
Budaya yang Bersifat konkret
Wujud budaya yang bersifat konkret
berpola dari tindakan atau peraturan dan aktivitas manusia di dalam masyarakat
yang dapat diraba, dilihat, diamati, disimpan atau diphoto. Koencaraningrat
menyebutkan sifat budaya dengan sistem sosial dan fisik, yang terdiri atas: perilaku,
bahasa dan materi.
a. Perilaku
Perilaku adalah cara bertindak atau
bertingkah laku dalam situasi tertentu. Setiap perilaku manusia dalam
masyarakat harus mengikuti pola-pola perilaku (pattern of behavior)
masyarakatnya.
b. Bahasa
Bahasa adalah sebuah sistem
simbol-simbol yang dibunyikan dengan suara (vokal) dan ditangkap dengan telinga
(auditory). Ralp Linton mengatakan salah satu sebab paling penting dalam
memperlambangkan budaya sampai mencapai ke tingkat seperti sekarang ini adalah
pemakaian bahasa. Bahasa berfungsi sebagai alat berpikir dan berkomunikasi.
Tanpa kemampuan berpikir dan berkomunikasi budaya tidak akan ada.
c. Materi
Budaya materi adalah hasil dari
aktivitas atau perbuatan manusia. Bentuk materi misalnya pakaian, perumahan,
kesenian, alat-alat rumah tangga, senjata, alat produksi, dan alat
transportasi.
Unsur-unsur materi dalam budaya
dapat diklasifikasikan dari yang kecil hingga ke yang besar adalah sebagai
berikut:
1. Items, adalah unsur yang paling kecil dalam
budaya.
2. Trait, merupakan gabungan dari beberapa
unsur terkecil
3. Kompleks budaya, gabungan dari beberapa items dan
trait
4. Aktivitas budaya, merupakan gabungan dari beberapa
kompleks budaya.
Gabungan dari beberapa aktivitas
budaya menghasilkan unsur-unsur budaya menyeluruh (culture universal).
Terjadinya unsur-unsur budaya tersebut dapat melalui discovery (penemuan
atau usaha yang disengaja untuk menemukan hal-hal baru).
Agama dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Sebagian orang melihat
agama sebagai sesuatu yang kudus, sakral, dan rohani yang mendatangkan kebaikan
bagi umat manusia. Namun di sisi lain, orang melihatnya secara berbeda. Agama
adalah suatu kebodohan, tidak masuk akal. Karena mereka memandang agama sebagai
ciptaan manusia yang di dalamnya penuh dengan mitos-mitos. Apakah memang
demikian? Adakah disiplin ilmu lain di samping teologi, yang melihat agama
secara berbeda? sehingga pandangan-pandangan tersebut muncul.
Agama dalam Perspektif Teologi
Dalam perspektif teologi agama dipandang sebagai sesuatu yang dimulai dari
atas (dari Tuhan sendiri melalui wahyu-Nya). Manusia beragama karena Tuhan yang
menanamkan kesadaran ini. Tuhan memperkenalkan diri-Nya kepada manusia melalui
berbagai penyataan, baik yang dikenal sebagai penyataan umum, seperti
penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam, penciptaan semua makhluk dsb.
maupun penyataan khusus, seperti yang kita kenal melalui firman-Nya dalam kitab
suci, penampakan diri kepada nabi-nabi, bahkan melalui inkarnasi menjadi
manusia dalam dogma Kristen.
Penyataan-penyataan Tuhan ini menjadi dasar untuk kehidupan beriman dan
beragama umat manusia. Melalui wahyu yang diberikan Tuhan, manusia dapat
mengenal Tuhan; manusia tahu cara beribadah; memuji dan mengagungkan Tuhan.
Misalnya, bangsa Israel sebagai bangsa beragama dan menyembah hanya satu Tuhan
(monoteisme) adalah suatu bangsa yang mengimani bahwa Tuhan menyatakan diri
terlebih dulu dalam kehidupan mereka. Dalam Perjanjian Lama Tuhan memanggil
nabi Nuh kemudian Abraham dan keturunan-keturunannya. Sehingga mereka dapat
membentuk suatu bangsa yang beriman dan beribadah kepada-Nya. Tuhan juga
memberi petunjuk mengenai bagaimana harus menyembah dan beribadah kepada Tuhan.
Kita dapat melihat dalam kitab Imamat misalnya. Semua hal ini dapat terjadi
karena Tuhan yang memulainya. Dan tanpa inisiatif dari atas (dari Tuhan)
manusia tidak dapat beriman, beribadah dan beragama.
Contoh lain, terjadi juga dalam agama Islam. Tuhan menurunkan wahyu kepada
nabi Muhammad. Melalui wahyu yang diterimanya, Muhammad mengajarkan dan
menekankan monoteisme di tengah politeisme yang terjadi di Arab. Umat dituntun
menyembah hanya kepada Dia, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Melalui wahyu yang
diterimanya, Muhammad memiliki keyakinan untuk menobatkan orang-orang Arab yang
menyembah banyak tuhan/dewa. Dan melalui wahyu yang diturunkan Tuhan juga,
Muhammad mampu membentuk suatu umat yang beragama, beribadah dan beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Dapat disimpulkan bahwa agama dalam perspektif teologi tidak terjadi atas
prakarsa manusia, tetapi atas dasar wahyu dari atas. Tanpa inisiatif Tuhan
melalui wahyu-Nya, manusia tidak mampu menjadi makhluk religius yang beriman
dan beribadah kepada Tuhan. Jadi berbicara soal agama dalam perspektif teologi
harus dimulai dengan wahyu Allah atau penyataan yang Allah berikan kepada
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar